Rabu, 17 September 2014

kebudayaan kediri

KESENIAN JARANAN DAN KETHEK OGLENG KEDIRI
Ragam kesenian di Kabupaten Kediri tentunya tidak lepas dari sejarah kerajaan Kediri.Beberapa kesenian khas daerah yang dapat dinikmati wisatawan antara lain Seni Jaranan, kethek ogleng dll
Kesenian Jaranan menyuguhkan berbagai atraksi menarik yang kadang mampu membangkitkan rasa takjub.Atraksi gerak pemain dengan diiringi tabuhan gamelan serta sesekali diselingi unsur magis menjadikan kesenian ini layak ditonton.

Di Kabupaten Kediri terdapat beberapa kesenian Jaranan yang dapat dinikmati diantaranya Jaranan Senterewe, Jaranan Pegon, Jaranan Dor, dan Jaranan Jowo. Jaranan Jowo merupakan salah satu kesenian Jaranan yang mengandung unsur magis dalam tariannya. Dimana pada puncaknya penari akan mengalami TRANCE (kesurupan) dan melakukan aksi berbahaya yang terkadang di luar akal manusia.
Sedangkan Jaranan Dor, Jaranan Pegon, dan Jaranan Senterewe lebih mengedepan kan kreatifitas gerak dengan iringan musik yang dinamis. Jaranan Senterewe merupakan jaranan yang digemari, karena dalam penampilannya selalu disertai hiburan lagu-lagu yang bernada diatonis. Seluruh kesenian jaranandi Kabupaten Kediri berada di bawah naungan Paguyuban Seni Jaranan (PASJAR) Kabupaten Kediri. Pemakeman Jaranan Kediri mengalami kendala karena hampir di setipa daerah terdapat kesenian ini, terutama daerah sekitar kediri, namun berbeda gerakanya. Perlu kajian sejarah untuk menetapkan pakem.
 Jaranan, sebenarnya menggambarkan cerita masa lalu, ketika Raja Bantar Angin, seorang raja dari Ponorogo bermaksud melamar Dewi Songgolangit, putri cantik dari kerajaan Kediri, atau yang biasa disebut juga dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana. Konon menurut cerita, karena wajahnya jelek, Raja Bantar Angin akhirnya menyuruh Patihnya, yang bernama Pujangga Anom, seorang patih yang dikenal sangat tampan. Agar Dewi Sekartaji tidak tertarik dengan Patih Pujangga Anom, Raja Bantar Angin memintanya memakai sebuah topeng buruk rupa. Lalu Patih Pujangga Anom, datang ke kerajaan Kediri, menyampaikan maksud rajanya. Putri Sekartaji, yang mengetahui Patih Pujangga Anom mengenakan topeng, merasa tersinggung, lalu menyumpahi agar topeng tersebut, tidak bisa dilepas seumur hidup. Raja Bantarangin, akhirnya datang sendiri ke Kerajaan Kediri. Sebagai gantinya, Dewi Songgolangit meminta 3 persyaratan. Jika Raja Bantarangin bisa memenuhi, dirinya bersedia diperistri. Tiga syarat tersebut, binatang berkepala dua, 100 pasukan berkuda warna putih, dan alat musik yang bisa berbunyi jika dipukul bersamaan. Sayangnya, Raja Bantarangin, hanya bisa memenuhi 2 dari 3 persyaratan tersebut, 100 kuda warna putih yang digambarkan dengan kuda lumping, alat musik yang bisa dipukul bersamaan yakni gamelan. Sehingga, terjadi pertempuran diantara keduanya. Kerajaan Kediri, datang dengan membawa pasukan berkuda, yang kini digambarkan sebagai jaranan, sementara Kerajaan Ponorogo membawa pasukan, yang kini digambarkan sebagai kesenian Reog Ponorogo.
Diperjalanan, terjadi pertempuran. Raja Ponorogo yang marah, membabat macan putih yang ditunggani patih kerajaan Kediri, dengan cambuk samandiman, hingga akhirnya melayang ke kepala salah satu kesatria dari Ponorogo. Bersamaan dengan kejadian tersebut, seekor burung merak, kemudian juga menempel dikepala kesatria tersebut, sehingga ada kepala manusia yang ditempeli kepala macan putih dan merak, ini yang sekarang disimbolkan reog Ponorogo. Bahkan, dalam tarian reog, semua penari juga membawa cambuk. Sementara dalam kesenian jaranan, menggambarkan pasukan berkuda Dewi Sekartaji yang hendak melawan Raja Ponorogo. Barongan, Celeng dan atribut didalamnya, sebagai simbol, selama dalam perjalanan menuju Ponorogo yang melewati hutan belantara, pasukan juga dihadang berbagai hal, seperti naga, dan hewan hewan liar lainnya.
KETHEK OGLENG
Selain jaranan, Kediri juga punya kesenian khas yang lain. Bahkan, tari yang dicuplik dari kisah asmara Panji Asmarabangun dan Dewi Kilisuci tersebut juga sudah mendunia. Tapi sekarang tari ini terancam punah. Bagi komunitas seniman Kediri, nama Guntur sudah tidak asing lagi. Dedikasinya terhadap dunia seni bahkan sudah membawanya hingga ke berbagai negara di dunia. Memperkenalkan tari nasional ke seluruh dunia. Salah satunya adalah mempertontonkan tari Kethek Ogleng. Menurut Guntur, tari Kethek Ogleng sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tari ini mengalami masa puncak pada era 70-an. Seiring berjalannya waktu, tari Kthek Ogleng perlahan-lahan mulai jarang ditampilkan. Pada era 90-an kegemaran masyarakat dan seniman mulai bergeser. Mereka lebih suka memainkan jaranan yang gerakan dan musiknya lebih sederhana. Tak heran bila saat ini warga Kediri lebih mengenal jaranan sebagai seni khas Kediri dibandingkan Kethek Ogleng. Apa yang membuat Kethek Ogleng menjadi kesenian khas Kediri? Guntur mengatakan sebenarnya tari tersebut berasal dari legenda Kota Kediri. Yaitu kisah percintaan Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji dalam Cerita Panji.
Kera atau kethek yang ditampilkan pada cerita tersebut adalah jelmaan dari Panji Asmorobangun. Dia berubah wujud menjadi seekor kera putih yang sedang mencari calon pendamping hidup.
Saat berkelana di hutan kera putih berjumpa dengan Endang Roro Setompe yang merupakan nama lain dari Dewi Sekartaji. Melihat sosok Dewi Sekartaji yang cantik jelita, Panji pun tergoda. Namun sayangnya Sekartaji tidak mau memiliki suami seeekor kera. “Akhirnya Sekartaji meninggalkan kera sendirian di tengah hutan,” cerita Guntur.
Cerita itulah yang kemudian ditampilkan dalam bentuk satu tarian dengan nama Kethek Ogleng. Sebenarnya untuk bisa menampilkan kesenian itu hanya dibutuhkan dua orang penari dengan iringan musik gamelan. Penari pertama berperan sebagai kera putih dan penari kedua berperan sebagai Dewi Kilisuci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar